PT Kliring Berjangka Indonesia (PT KBI), yang merupakan bagian dari Holding BUMN Danareksa dan berfokus pada Kliring Penjaminan serta Penyelesaian Transaksi Perdagangan Berjangka Komoditi, berupaya memperkuat stabilitas pasar berjangka di tengah meningkatnya ketegangan perang dagang pada tahun 2025. "Kami telah mempersiapkan diri menghadapi gejolak ini dengan meningkatkan pemantauan operasional terhadap pemenuhan margin secara real-time melalui Intra Day Margin setiap dua jam," ungkap Direktur Utama PT KBI, Budi Susanto, dalam pernyataannya di Jakarta pada hari Senin. Budi menjelaskan bahwa dalam Perdagangan Berjangka Komoditi, fluktuasi harga yang terjadi saat ini merupakan kesempatan yang baik bagi para pelaku industri untuk memanfaatkannya. Fluktuasi harga ini berdampak langsung pada peningkatan transaksi emas Loco London, yang mencerminkan kepercayaan investor terhadap instrumen safe-haven di tengah ketidakpastian pasar. "PT KBI berkomitmen untuk terus mendukung stabilitas sistem keuangan melalui mekanisme kliring yang transparan, responsif, dan dapat diandalkan," tambahnya. Kebijakan tarif impor resiprokal yang diumumkan oleh pemerintahan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada awal April 2025 telah menyebabkan gejolak signifikan di pasar komoditas global, terutama pada komoditas strategis seperti emas. Sebagai lembaga kliring untuk perdagangan berjangka, PT KBI mencatat peningkatan volume transaksi komoditas strategis di tengah ketidakpastian geopolitik dan ekonomi. Kebijakan tarif impor AS yang mencapai 32 persen untuk Indonesia dan lebih dari 100 persen untuk produk tertentu dari China telah mengganggu rantai pasok global, mendorong investor untuk beralih ke aset safe-haven seperti emas dan komoditas fisik. Berdasarkan data terbaru yang tercatat di pasar Indonesia selama kuartal I-2025, volume transaksi emas Loco London di Bursa Berjangka Jakarta (Jakarta Futures Exchange/JFX) mengalami peningkatan sebesar 20,2 persen secara year on year (yoy), dengan total mencapai 1.491.864 lot dibandingkan dengan 1.240.323 lot pada kuartal sebelumnya. Faktor yang mempengaruhi data tersebut adalah ketidakpastian nilai tukar rupiah terhadap dolar AS serta permintaan untuk lindung nilai (hedging) dari pelaku industri. Saat ini, Indonesia menghadapi tantangan yang unik yang dikenal sebagai "Currency-Commodity Double Squeeze," di mana kenaikan harga emas disebabkan oleh permintaan global untuk aset aman dan penguatan dolar AS terhadap rupiah. Kombinasi ini menambah tekanan inflasi dan biaya impor di berbagai sektor industri. Sebagai respons terhadap situasi ini, Bank Indonesia (BI) melakukan intervensi di pasar offshore (non deliverable forward/NDF) untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dari tekanan global yang tinggi. Intervensi di pasar offshore dilakukan secara berkelanjutan oleh Bank Indonesia di pasar Asia, Eropa, dan New York. BI juga mengoptimalkan instrumen likuiditas rupiah untuk memastikan kecukupan likuiditas di pasar uang dan perbankan domestik. Di samping itu, BI melaporkan bahwa posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Maret 2025 mencapai 157,1 miliar dolar Amerika Serikat (AS), meningkat dibandingkan dengan posisi pada akhir Februari 2025 yang sebesar 154,5 miliar dolar AS. Bank Indonesia meyakini bahwa cadangan devisa tersebut dapat mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Selanjutnya, PT KBI terus berkoordinasi dengan otoritas terkait, termasuk Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), BI, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengurangi risiko sistemik di pasar berjangka. Upaya ini sejalan dengan misi BUMN untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia yang inklusif dan berdaya saing global.